Dalam beberapa tahun terakhir, tren baru telah muncul di dunia media sosial – Sultanking. Fenomena ini, yang melibatkan pengguna yang memposting konten yang berlebihan atau sombong tentang kehidupan mereka, telah mendapatkan popularitas di platform seperti Instagram dan Tiktok. Tapi apa sebenarnya Sultanking, dan mengapa itu menjadi begitu lazim di lanskap digital saat ini?
Sultanking dapat didefinisikan sebagai tindakan memamerkan kekayaan, kesuksesan, atau gaya hidup seseorang dengan cara yang dimaksudkan untuk mengesankan atau mengintimidasi orang lain. Ini dapat mencakup memposting foto mobil mahal, pakaian desainer, liburan mewah, atau rumah mewah. Istilah “sultanking” berasal dari kata “sultan,” yang mengacu pada penguasa atau pemimpin yang memegang kekuatan dan otoritas besar.
Salah satu alasan utama kebangkitan sultanking adalah keinginan untuk validasi dan pengakuan di media sosial. Di dunia di mana suka, komentar, dan pengikut dipandang sebagai indikator status sosial, banyak pengguna merasa tertekan untuk menampilkan diri dengan cara yang akan mendapatkan perhatian dan kekaguman. Dengan menunjukkan harta benda dan pencapaian materi mereka, Sultankers berusaha untuk menegaskan dominasi dan keunggulan mereka atas orang lain.
Selain itu, Sultanking juga dapat dikaitkan dengan munculnya budaya influencer, di mana individu dengan pengikut besar dapat memonetisasi kehadiran online mereka melalui kemitraan merek dan konten yang disponsori. Dengan menggambarkan gaya hidup yang glamor dan aspirasional, Sultankers dapat menarik sponsor dan kolaborasi dengan perusahaan yang ingin menjangkau khalayak yang lebih luas.
Namun, Sultanking bukan tanpa kritiknya. Banyak yang berpendapat bahwa tren mempromosikan ketangkasan, materialisme, dan perbandingan yang tidak sehat di antara pengguna. Dengan terus membandingkan diri mereka dengan orang lain dan mengukur nilai mereka berdasarkan faktor-faktor eksternal, individu dapat mengembangkan perasaan tidak mampu dan harga diri yang rendah.
Terlepas dari reaksi, Sultanking tidak menunjukkan tanda -tanda melambat. Faktanya, beberapa pengguna media sosial telah menganut tren sebagai bentuk ekspresi diri dan pemberdayaan. Dengan merayakan pencapaian mereka dan menunjukkan keberhasilan mereka, Sultankers dapat bangga dengan prestasi mereka dan menginspirasi orang lain untuk mengejar tujuan mereka.
Ketika media sosial terus berkembang, kemungkinan Sultanking akan tetap menjadi tren yang menonjol dalam lanskap digital. Apakah dipandang sebagai bentuk promosi diri yang tidak berbahaya atau tampilan kesombongan beracun, Sultanking berfungsi sebagai cerminan dari obsesi masyarakat kita dengan citra dan status. Pada akhirnya, terserah individu untuk menentukan bagaimana mereka ingin menampilkan diri secara online dan nilai apa yang mereka pilih untuk diprioritaskan di kehadiran digital mereka.